Senin, 11 November 2013

#KamisPuitis

Hello guys, ini adalah kumpulan puisi mini karya gue yang ada di twitter, kenapa pakai hastag kok #KamisPuitis ? Nah, gue dan temen-temen bikin event tiap hari Kamis kita berpuisi ria di jejaring sosial Twitter. Mau lihat karya yang lain, tinggal search aja di twitter dengan hastag #KamisPuitis.

So, ini puisi mini karya (at)Raditaama di #kamispuitis :

1. Denting jam mulai terdengar serupa suara kau mengaduk secangkir teh hangat yg membuat rindu semakin erat. #kamispuitis

2. Setelah air mata apalagi yang kau tagih? Luka dan perih lagi-lagi saling memaki. #kamispuitis

3. Pada malam sunyi ini terdengar denting gitar, mengobati luka yg mengakar dan menggantinya dengan senyum yang lebar. #kamispuitis

4. Mata kian berbinar, hati ikut menjadi nanar, sesaat asa menyentuh cinta yg usang dibekap luka. #kamispuitis

5. Aku terkagum melihatmu memegang tasbih, merapal ayat Al-Qur'an, memanggil nama-Nya. Namun tak bisa ku tinggalkan Al-kitab serta Rosario ini. #kamispuitis

6. Aku tersedu sambil merobek-robek lembaran kelam. kini ia bebas berterbangan mengepakkan cinta dan lukanya #kamispuitis

7. Dengan memegang tasbih, ku pautkan jariku ke jarimu, walau ku tahu didadamu tersemat rosario. Bukan kah cinta ialah menyatukan? #kamispuitis

8. Deru nafas yg memburu, tatapan mata yang awas, Jantung yg berdecak cepat, begitulah sang ksatria saat menyampaikan segudang dosa. #kamispuitis

9. Ada yang berdiri disamping rembulan, menebar hangat di malam sunyi, ku rasakan seribu pedang membekap imaji. #kamispuitis

10. Tak ada pendar jingga, tak ada canda tawa, tak ada peluk hangat. Hanya hujan dan petir yang bersahut membuat hati kian kalut. #kamispuitis

11. Ada yang menari di hilir sungai, menanti sebuah hujan, agar rindu dan lukanya mengalir dan bermuara di sisi samudera. #kamispuitis

12. Pada denting jam keseribu, rinduku masih saja diam membisu. Meraba dinding-dinding hati yang gigil dibekap imaji #kamispuitis

13. Ialah ksatria berpedang kayu, menebas bala tentara rindu, membongkar benteng-benteng luka, tuk sampai di samudera cinta #kamispuitis

14. Ada yg terselip di mataku, sebuah simpul yg terjatuh dari kepergianmu. Aku taktau cara untuk melepasnya, kecuali dengan menagis #kamispuitis

15. Kembali melihat album biru, ku temukan klisemu. hampa, melebihi langit malam yang di tinggalkan bulan #kamispuitis

16. Hati masih terjaga oleh gulitanya malam, dan bunga itu masih saja terjaga sebagai yang tak—pantas dilupakan. #kamispuitis

17. Peluk nampak begitu hangat. Tetapi cinta mungkin tergerus, saat asa telah pupus. #kamipuitis

18. Sajak; remuk, luruh, ringkuh. ku harap tak ada cinta yg pupus padanya. #kamispuitis

19. Lumat keheninganku dengan riuh yang bergumpal di bibirmu . Pupuskan gundahku dengan hangat yg bersandar di matamu #kamispuitis

20. Lihatlah dalam kamus, carilah kata "pupus" , mungkin kamu akan tau kalau cintanya mulai tak terbungkus #kamispuitis

21. Cinta? Ialah luka yg terbungkus, lambat laun mulai tergerus, memupus, dan kini tak terendus #kamispuitis

22. Barangkali cintaku serupa garis, walaupun ia asimetris, tapi tetap akan fantastis! #kamispuitis

23. Ku sebut gitar yg tak bernada, barangkali bosan dipetik jari-jari yg sama dengan asanya. ya begitu lah. : Kita. #kamispuitis

24. Di balik akasia aku merindukan cerah, namun mendung setia mengisi. Bahkan bintang pun enggan berpendar pada sajakku. #kamispuitis

25. Belum sampai larut, hatiku telah tersulut. Entah bagaimana senyumanmu seperti laut yg tiap kedalamnya selalu ingin ku rajut. #kamispuitis

26. Sejenak angin mengingatkan ku pada bunga matari; kembali memasyhurkan taman mati di hilir hati. #kamispuitis

27. Sajakku ialah kopi di malam hari, aroma cappucino yg identik dengan rambutmu selaras dengan busa susu lembut layaknya hatimu. #kamispuitis

28. Kuberitahu; Ia berbeda, tak mampu menarik perhatian serangga. Sampai ia tak tau ia berada—aku #kamispuitis

29. Hai bulan November dan Desember, ku harap nanti cinta akan bermula pada kehangatan sweter #kamispuitis

30. Mah, telah ku buat telaga di hatiku. saat air mataku habis karena merindukanmu. Ku selami sampai palungnya. #kamispuitis

31. apa harus ku matikan pendar dari kunang-kunang yg lain? entahlah, aku tidak ingin pernah menyebutkan namanya; cinta. #kamispuitis

32. Seperti rembulan di tengah gurun, indah nan anggun. Berpendar, membuat kaktus dan pasir tertegun. Dan aku hanya ilalang yg selalu melamun. #kamispuitis

33. Anginnya terlalu kencang? mungkin hati kamu saja yg terlalu lengang. Kemari lah, biar ku buat makin riang. #kamispuitis

34. Ketika hujan datang ku kira itu kamu. ternyata kamu hanya genang sebentar, lalu menghilang dalam pendar. #kamispuitis

35. Aku belum pernah mellihat hujan di tengah lautan. kelak kita tau nampaknya bersama anak kita nanti. #kamispuitis

36. Katakan lah Raisa! Mana yg kau suka, hujan dengan kehampaan atau hujan bergandengan kenangan? #kamispuitis

35. Terlalu deras hujannya begitupun lukanya. #kamispuitis

36. Bagaimana bisa melupakan? Jikalau saban hujan slalu bergandengan dengan kenangan. #kamispuitis

37. Seperti ini kah kehilangan merindukan hujan di tengah kemarau. #kamispuitis

38. Nampaknya bukan dalam hujan ku temukan kedamaian. Terkadang ia bergandengan dengan kenangan yg telah terlupakan. #kamispuitis

39. Seperti hujan yg memadamkan api, Senyummu melampaui hal yg indah di surga nanti. #kamispuitis

40. Dibalut senyum pura-pura, matamu terlalu banyak menceritakan luka-luka. Lalu, kapan kau berhenti mendambakan lupa? #kamispuitis

41. Hatiku kosong, Felis! debar jantungku serupa hujan yg meneteskan tangis kerinduan. #kamispuitis

42. Berbahagialah gebetanku, sebab hujan mengajarkanmu tentang arti merindukanku. *eh #kamispuitis

43. Barangkali aku serupa hujan, yg membawa titik-titik cinta untuk menemukan permukaan hatimu yg slalu ku damba. #kamispuitis

44. Akulah hujan itu, rintik-rintik gerimis yang membasuh lukamu #kamispuitis

45. Bila kau rasa hangat dalam hujan, itu doaku! yg didengar oleh Tuhan. #kamispuitis

46. Sekalipun ku baca di tengah hujan, kau takkan mendengar apa yg di teteskan. meski slalu namamu yg di agungkan. #kamispuitis

47. Rindu berbalut di tengah awan, selaras jatuh bersama hujan. Aku penyair yg tak pernah kau usik, meski sajakku slalu berisik #kamispuitis

48. Biarkan sajakku menjadi epitaf rindu, pada rintik-rintik hujan di sudut matamu. #kamispuitis

49. Kami dengan hujan menyatakan kemerdekaannya. Hal-hal yg mengenai dengan rindu akan dibasuh dalam tempo yg sesingkat-singkatnya. #kamispuitis

50. Berpendar lah semaumu, biar saja ilalang merebutimu, tapi nanti kamu tunggu, di bawah hujan lah kamu tersendu! #kamispuitis

51. Namaku pelangi, yg selalu berpendar bewarna-warni. jikalau nanti ingin ku kembali, cumbu lah hujan di sudut hati. #kamispuitis

52. Jus Jambu dan Mangga layaknya hujan yg melepas dahaga. #kamispuitis

53. pada bocah yg berlari lincah, kutitipkan surat buncah, Masih adakah secercah cinta pada puing-puing hati yg tlah pecah. #kamispuitis

54. Ibu; Ini cinta yg kental, bukan santan yg pecah bergumpal-gumpal #kamispuitis

55. Kau timpuk aku dengan berjuta sajak, kau basuh aku dengan beribu bijak, tapi mengapa kau pecahkan aku dengan beribu jejak. #kamispuitis

56. adakah mata yg melebihi pendarnya matari, adakah rindu yg pecah di sela-sela hati? #kamispuitis

57. Malam membeku, saat puncak-puncak sajak diselimuti salju, aku tabur paku-paku agar ban mu pecah di sudut rindu. #kamispuitis

58. Pendar dan berpendar lah! kalahkan semburat jingga. lalu pecahkan (r)asa pada dinding ronga dada #kamispuitis

59. Malam yg muram, bahkan ponselku berubah menjadi pendiam. tak ada pecah tawa dari sang angsa. #kamispuitis

60. Dalam gigilnya dunia, hujan dan matari bergantian memaki pelangi. #kamispuitis


Untitled

Memandangnya saat senja, wajahnya terpapar sinar matari. Warna keemasan membuatnya tampak seperti dewi. Dewi matari. Ya. Dia sama anggunnya dengan dewi matari. Semburat cahaya matari membuat wajahnya berpendar emas dan tampak semakin hangat. Membuat nyaman untuk selalu berada di dekatnya. Namun, apakah aku bisa terus bersamanya? Namun apakah bisa ku rengkuh hangatnya?

Dia menoleh memandangku dan mengangkat alis, aku terkesiap lalu memalingkan wajahku. Aku masih bisa merasakannya menatapku dan aku merasakan panas di wajahku. Benar-benar seperti matari senja yang hangat.

“Jangan salah tingkah,” katanya sambil tertawa. Aku mendengus sambil tersenyum kecut.

“Memandang orang kan tidak ada salahnya, pandanglah selagi bisa,” katanya lagi sambil tersenyum. Sejenak aku tertarik kepada jam tangan ku. Keheningan menyusul kita berdua. Dia tertarik kepada air mancur di taman, sementara aku masih tertarik kepada jam tangan ku.

“Jadi, ada alasan khusus kenapa kamu kemari?” tanyanya masih menatap merpati. Aku menengadah memandang gadis kecil bersama kakak lelakinya yang jauh lebih tua sekitar 12 tahun. Aku masih memikirkan apa alasan aku ke kota ini, bahkan ke negara ini. Gadis itu menangis di dalam pelukan sang kakak yang sudah berumur sekitar 17tahun, sedangkan gadis kecil itu berumur sekitar 5 tahun. Kemudian sang kakak membelikan gadis kecil itu Ice cream dan cotton candy. Hal yang terjadi di depan mataku membuatku tersenyum.

---

Waktu itu senja merambati Kota Roma, memancarkan pendar keemasan. Hangat menyelubungi tubuhku. Aku berdiri di depan kedai Ice cream Gelato. Menatap kedai Ice cream itu sejenak sebelum aku akhirnya memutuskan untuk masuk. Aku memilih tempat duduk yang disinari matari senja. Pelayan menghampiriku, aku memesan banana split. Aku menatap padatnya jalan raya kota ini. Kemudian pandanganku terhalang oleh sesosok tubuh berpakaian kaos V-neck hitam di balut dengan cardigan putih, dan celana jins. Aku mendengus dan mendongak menatap sosok tubuh itu. Saat berpapasan dengan matanya, hatiku tercenung. Wanita itu tersenyum kepadaku, dia menarik kursi dan duduk di depanku. Tepat dimana sinar matari senja menimpa wajahnya.

“Nggak panas?” tanyaku sambil menatap lurus ke jalan raya, bukan ke wajahnya.

“Hangat,” jawabnya sambil tersenyum. Aku mendengus sambil tersenyum. Kemudian pelayan menawarkan pesanan dan dia memesan Ice cream coklat.

“Nih, chocolate cakenya,” kataku sambil menyodorkan bungkusan. Dia menatapnya sambil tersenyum.

“Kirain bentuknya hati,” katanya sambil menatapku dengan senyumnya. Senyumnya? Jangan tanyakan seperti apa. Senyumnya tentu saja seperti matari, hangat dan membuat hatiku leleh. Aku hanya tersenyum. Kemudian aku memberanikan diri untuk menatapnya. Sejenak kemudian mata kami saling bertemu. Lima detik kemudian aku memalingkan pandanganku karena pelayan membawakan pesanan kami. Sejenak tidak ada percakapan karena kami saling menikmati Ice cream di senja ini.

“Kamu beneran naik taksi?” katanya sambil menatapku.

“Iyalah, mau naik apa,” kataku.

“Maaf, kalau nunggu aku nanti kamu kelamaan,” katanya ada nada penyesalan di kalimatnya. 

Aku memandang wajahnya sambil mengangkat alis. Dia menatapku dengan tatapan polosnya.

“Apa?” tanyanya.

“Kenapa minta maaf?”  tanyaku. Dia mengangkat bahu. Aku mendengus sambil berdecak.

“Aku nggak masalah kamu nggak bertemu aku, aku nggak ada masalah apapun, yang penting,” kata-kataku terpotong. Leherku rasanya seperti tercekat.

“Yang penting apa?” tanyanya sambil menatapku.

“Nggak kenapa-kenapa,” jawabku akhirnya. Ganti dia yang mendengus.
Keheningan menyusul kita berdua lagi. Aku sekarang tertarik kepada Ice cream yang mulai meleleh di piringku. Begitupun dia. Semenit, dua menit sampai lima menit masih tetap hening. Keheningan ini membuat canggung.

“Pulangnya kita bersama-sama ya,” katanya akhirnya.

“Tapi kamu kan harus pulang tepat,” jawabku sambil mengerutkan alis.

“Tidak apa-apa kok, nanti kamu main saja ke apartemenku,” jawabnya. Selama dia berbicara baru sekali ini dia tidak menatapku. Ganti aku yang menatapnya. Jadi ini ya rasanya saat bicara tapi wajah kita tidak ditatap. Jadi, untuk kalian, saat ada yang mengajakmu bicara, tataplah wajahnya, matanya terutama.

Kemudian mendongak, menatap lurus, entah kepadaku atau kepada sesuatu dibelakangku. Wajahnya tertimpa sinar matari senja. Berpendar keemasan dan hangat. Aku menatapnya, tepat di matanya, kemudian dia juga menatapku tepat di mataku. Aku tersenyum, dan dia juga balas tersenyum. Aku menghela nafas dan dia mengangkat alis. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, tapi cukup untuk dirasakan. Mungkin bagiku saja, tidak baginya.

Kemudian aku memutuskan untuk ke kasir dan membayar Ice cream kami. Aku baru menyadari bahwa hari ini hari Sabtu. Oh Saturday night. Pantas banyak pasangan. Aku sejenak tersenyum menatap mereka. Aku terlalu asyik menatap jalan raya dan aku tidak akan segera tersadar jika aku tidak tersentak kaget saat dia menggandeng tanganku untuk mengajakku bangkit. Aku mendongak menatapnya, dia menatapku sambil tersenyum. Dia benar-benar seperti matari. Aku bisa merasakan panas menjalar ke seluruh tubuhku. Aku kemudian bangkit dan tersenyum. Dia masih menggandeng tanganku sampai kami ke halte bus.

Aku tersentak saat sesosok tubuh berdiri di hadapanku, menghalangi pandanganku dari gadis dan kakak laki-lakinya. Sesosok tubuh itu menyodorkanku Ice cream cone bertumpuk 3. Aku menatap sosok tubuh itu. Dia tersenyum menatapku sambil menjilat Ice creamnya sendiri. Aku tersenyum simpul sambil menerima Ice cream pemberiannya. Aku begitu asyiknya melamun sehingga tidak sadar bahwa dia menghilang dari sampingku. Dia kembali duduk disampingku.

“Thanks” kataku sambil menatap wajahnya yang sekali lagi tertimpa sinar matari senja. Dia tersenyum, tapi tidak membalas tatapanku. Aku memalingkan wajah dan tersenyum.
Aku selalu menyukai wajahnya saat pendar matari menimpa wajahnya. Matari membuat wajahnya berpendar keemasan dan selalu membuatku merasa hangat. Seolah-olah dia anak dewa matahari, Apollo.

“Jangan pergi lagi,” kataku tanpa menatapnya tapi aku tersenyum.


 ---

Tepat sehari setelah peristiwa Ice cream Gelato itu semuanya berlalu dengan cepat. Hari-hariku tersita untuk kuliahku. Segalanya berlalu dengan cepat. Aku kini sudah berubah total dalam segala hal. Termasuk penampilan. Tahukah kenapa? Aku merubah semua aspek penampilanku demi dia. Dia yang yah sejauh ini aku tidak pernah menyebutkan namanya.

Sehari setelah peristiwa itu aku memutuskan untuk menunggunya. Menunggunya melihatku diantara jutaan lainnya. Aku  masih tetap disini menunggunya. Ditengah kesibukanku aku masih sempat melihat wallpaper ponselku. Sekilas dan tersenyum. Fotonya masih disitu sejak hari dimana aku memutuskan untuk memasangnya. Agar aku tidak lupa bahwa aku sedang menjaga hati untuknya.

Semakin aku menunggunya semakin jauh aku rasakan. Dia semakin menghilang, dan aku semakin tenggelam dalam mimpi-mimpiku. Aku terjatuh dan terlunta. Aku tidak kehilanganmu, tapi kau semakin menjauh dariku. Tidak bisakah kau kembali kesisiku?

Sehari setelah semuanya berlalu setelah dia menggandeng tanganku, semuanya terasa terhisap oleh waktu. Entah siapa yang kehilangan siapa. Aku tidak melupakannya, bahkan berpikir untuk melupakannya pun tidak. Aku bisa jadi tidak waras atas semua yang aku lakukan.

Getar handphone-ku membuyarkan lamunan, aku lihat sebuah pesan singkat dari nomor yang tak aku kenal. “Nanti malam kamu ada acara? tolong antarkan aku ke pesta pernikahan kakak kelasku yah.” Tak ada nama yang mengkuti pesan singkat itu, namun pikiranku langsung tertuju kepadanya, yah dia yang membuatku selalu hangat di dekatnya. Lalu dengan gesit tanganku memijit-mijit tombol handphone-ku, “Iya, aku bisa. Kebetulan mobil pamanku ditinggalkan olehnya, nanti aku jemput kamu jam 18:00 tepat.”, setelah itu suasana kembali hening. Aku menatap layar hanphone-ku sambil berharap ada balasan dari nomor yang tak di kenal itu namun tak ada getaran sama sekali, sempat hatiku berkata “Apa bukan dia? atau sudah ada orang lain untuk menjemputnya?”

“Cepat bangun, sudah hampir petang. Lekas mandi, air panas sudah siap.” suara itu membangunkanku, ternyata aku tertidur setelah lama berharap menunggu balasan pesan singkatnya. Aku lihat sebuah pesan singkat di hanphoneku “Kamu akan menjemputku kan? Aku tunggu yah, jangan sampai telat!” . Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17:30 , aku segera berlari untuk mempersiapkan diri.

“Tingtong,Tingtong” aku memijit bel didepan pintu apartemennya. Setelah itu muncul sesosok gadis yang begitu anggun, mengenakan dress putih dengan payet-payet yang menghiasi dress tersebut, layaknya langit yang ditaburi bintang-bintang. Rambutnya tergerai lurus dengan satu ikatan rambut di sisi kiri, seakan melambai-lambai kepadaku untuk membelainya. Aku seakan terbius, diam membisu, bagiku ini seakan di surga. “Ayo.”  suara tersebut membuyarkan lamunanku. Aku masih saja diam membisu, tak sepatah kata apapun terlontar dari tipis bibirku. Aku terkaget ketika tangan lembut itu menggelayut manja di lenganku. Aku menoleh kepada gadis itu, dia tersenyum. Tidak, senyuman itu maut, aku seakan di hunus seribu pedang. “Kenapa? ada yang salah dengan penampilanku?” katanya. “Tidak, kau begitu cantik malam ini.” Jawabku sambil tak menatap senyumannya itu.

Tiba di gedung yang begitu mewah, aku dan gadis itu turun dari mobil pamanku, tak lupa juga dia menggelayutkan lengannya di lenganku. Semua mata tertuju pada aku dan dia, suasana menjadi hening ketika kami berjalan menelusuri pintu masuk. “Lihatlah, pasangan yang serasi itu. Layaknya Romeo dan Julliet.” Aku mendengar bisikkan para tamu yang lain tentang kita. “Romeo dan Julliet? Bagiku dia memang Julliet, namun aku? Aku bahkan hanya seperti bodyanguardnya saja.” gerutuku. Para tamu yang lain masih saja memperhatikan gerak-gerik aku dan dia, seakan tiap langkah kami menjadi pertunjukkan yang sangat indah bagi mereka. Aku dan dia mencoba membaur ke para tamu yang lain.

“Wah kalian serasi sekali, pantas saja setiap gerak kalian menjadi pertunjukkan indah untuk para tamu yang lain.” Terdengar suara yang aku kenali saat itu, sesosok gadis di balut dengan long dress hitam pekat berdiri dihadapan kami. “Nirina, kau datang juga? Bersama siapa kau datang?” suara merdu dari gadis yang masih menggelayutkan lengannya di lenganku. Kemudian muncul sesosok pria yang menurutku lebih dari diriku, pakaiannya begitu rapi, gagah, dan tatapan matanya seperti elang. “Randy” sambil mengulurkan tangannya pada gadis yang menggelayutkan lengannya ke lenganku. Saat itu aku hanya terdiam, merasakan rasa yang aneh yang menghantam hatiku. “Tidak, mereka hanya berkenalan bukan? Lagian aku bukanlah siapa-siapa darinya.” Hatiku mencoba menenangkan ombak cemburunya.

Aku keluar dari kerumunan itu, untuk mencari udara yang segar di malam ini. “Seharusnya aku bahagia, aku datang bersamanya. Bagai Romeo dan Julliet masa kini, namun ketika sampai aku melihat Robin Hood yang siap mencuri hati Julliet. Ah sial!” hatiku meneruskan gerutunya saat di kerumunan. Ku tengguk minuman yang aku bawa dari dalam pesta tersebut. “Hei, kau sedang apa disini? Tak menemani kekasihmu itu, jangan sampai hatinya tercuri oleh pria yang lain.” Suara itu membuyarkan lamunanku, aku menatap lelaki itu. Ia tertawa, seakan mencoba mengakrabkan suasana. Namun aku hanya tersenyum dan mencoba menjauhinya dengan langkah kakiku yang tertuju ke dalam kerumunan pesta.

“Kamu kemana aja? Aku cari di tiap pelosok kau tak ada.” Suara manja kesal berbisik di telingaku. Aku hanya tersenyum, hatiku tak karuan ketika mengetahui ia mencariku. Lengannya pun kini menggelayut kembali di lenganku. “Mari pulang” kata gadis itu sambil tersenyum padaku. Jam memang sudah menunjukkan pukul 21:00 saat itu, suasana gedung tersebut masih ramai, namun semilir angin malam mulai mendinginkan suasana. Tubuhnya gemetar, seperti menggigil di rabai oleh dinginnya malam, aku pun melepaskan lengan yang menggelayut di lenganku untuk sekedar melepas jas yang aku pakai. “Ini pakai, udaranya sangat dingin malam ini” ia tersenyum, senyumannya seperti hangat matari yang merabai tubuhku di malam dingin ini.

Sesampainya di pelataran apartemen, Ia mengatakan “Sudah sampai sini saja, terimakasih sudah menemaniku malam ini. Lain kali temani aku lagi dan kita berjalan berdua bersama lagi” . Sebuah kecupan mendarat di pipiku kananku, lembut tipis bibir dan guratan bibir itu seakan terasa ke seluruh tubuhku. Aku terdiam membisu, hati tak karuan, tak menyangka pipiku sebagai landasan kecupannya. Ia berlalu dengan senyumannya, sambil dengan tatapan manjanya yang membuatku terpana. Di perjalanan aku melamun, rasanya masih tak percaya dihadiahi sebuah kecupan.

Jarum jam masih terus berdenting, aku lihat jam sudah menujukkan pukul 00:00 tepat, namun masih saja mataku terjaga. Sebuah kecupan hangat yang aku terima memaksaku untuk tetap terjaga di malam sunyi ini. Tiba-tiba handphone-ku bergetar, “Hai, terimakasih atas malam ini. Maaf kalau aku merepotkan. Dan aku hanya ingin mengucapkan, kau “TAMPAN” seperti dewa langit, matamu elang yang siap memangsa para wanita lain. Selamat Malam!.” . Aku tersenyum melihat pesan singkat itu. Aku tak percaya kalau kata-kata yang terangkai ini dibuat olehnya, sesekali ku cubit pipiku untuk memastikan ini bukan mimpi.

---

Seminggu setelah kejadian pesta itu, aku dan gadis yang selalu aku puja semakin dekat. Bahkan tak sungkan-sungkan kami terjaga saat bulan bersemangat menyinari bumi. Lewat alat canggih masa kini aku dapat bertatap muka dengan mudahnya, membunuh rindu dengan senyuman, memudarkan sunyi dengan riuh canda tawa. Kini timbul cinta kepermukaan, senyum dan canda tawa sederhana menjelma menjadi cinta yang durjana. Rindu menjelma candu, hati kian gundah kala simpul senyum telah melonggar.

Musim-musim berlalu begitu saja, aku terlalu sibuk dengan kegiatan kuliah yang ekstra padat tanpa memberikanku istirah. Bagai hidup dunia baru, aku memalingkan arah pandanganku kepada setumpuk tugas yang saban hari melambai-lambai dan memanggil namaku. Tak sempat aku menggunakan handphone-ku untuk menyampaikan sedikit rindu, bagai perahu yang karam di samudera pasifik tak ada riuh canda tawa yang kini membunuh sunyi.
Kini entah siapa yang kehilangan siapa. Aku tidak melupakannya, bahkan berpikir untuk melupakannya pun tidak. Bagaimana dengannya? Apa dia melupakanku? Apa dia akan meninggalkan cinta ini? Sejuta tanya hadir saat malam mulai membentangkan jubahnya, sunyi mulai menjalar ke sudut-sudut hati, dan gundah mulai menengadah padaku.

-----

Aku terhenti di depan sebuah kedai, dimana terdengar riuh canda tawa anak-anak dan obrolan mesra para remaja, serta para dewasa yang menikmati senja kota Roma. Ya, kedai Ice Cream Gelato. Sesaat waktu menghisap ingatanku, waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Ya, Dia yang sejauh ini aku tidak pernah menyebutkan namanya. Dia yang selalu melelehkan hatiku layaknya Ice cream coklat, menghangatkan tubuhku dengan senyumannya, menebas sunyiku dengan canda dan tawanya, dan lenganku masih merindukan gelayut manja lengannya. Apalagi pipiku masih terus memanggil-manggil kecupan bibirnya, guratan-guratan yang terukir di lembut tipis bibirnya masih terlukis jelas dalam pikiranku. Aku masih menyimpan kenangan manis tersebut, menyimpannya dalam hati dengan mengikatnya dengan simpul mati.

Ku rasa Banana split ini masih seperti dahulu, lembut dan manis saling memeluk dan membuncahkan rindu di dalam mulutku. Namun bagiku ada yang hilang, ketika pendar jingga menimpa bangku kosong di hadapanku. Sesaat aku termangu, kemana perginya dia? Dia yang tak pernah kusebutkan namanya sampai saat ini, dia yang masih terlukis jelas di hati, dan menjelma sebagai orang yang tak pantas dilupakan.

Lamunanku membuyar di bawa angin, senja ini begitu kelabu. Sesaat awan abu-abu bergumpal di langit kota Roma bersiap untuk membasuh luka lama yang berbalut renjana. Rintik hujan mulai berdenting, suasana kota Roma yang padat berubah menjadi hening. Aku tertegun oleh lagu yang terputar di gramofon milik kedai Ice cream Gelato.

“Pada akhirnya aku selalu melihat ke suatu tempat, mencari senyumanmu di persimpangan jalan, saat aku duduk sendiri di kedai Ice cream,  meskipun aku tahu kau tak mungkin ada di sana. Andai hidup bisa diulang kembali, aku ingin berada di sisimu selalu. Aku tak menginginkan apapun. Tak ada yang lebih penting darimu.”

Begitulah lirik lagu yang berbisik kepadaku. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan rindu yang memaki hati. Kejadian sebelas tahun yang lalu itu takkan kembali, cinta yang belum sempat terlontar dari bibirku kini menjadi usang dan terkubur menjelma renjana hati. Air mataku terjatuh pada bangku yang kosong dihadapanku yang dahulu tertimpa pendar jingga kota Roma.



Aku berlari ke dalam riuh hujan, berlari menghampiri sebuah nisan yang bertuliskan nama Clarissa Azkia. Dia yang tak pernah kusebutkan namanya selama ini ialah gadis yang pernah menjadi dewi matari, bagiku kini ia menjelma menjadi imaji. Selama ini aku selalu mencari, selalu mencari sosoknya. Di persimpangan jalan, di dalam mimpi. Meskipun aku tahu dia tak akan ada di sana. Biarlah kenangan ini larut dalam Ice cream Banana Split milik Gelato.

Inspirasi: One more time, One more chance