Memandangnya saat senja, wajahnya terpapar sinar matari. Warna
keemasan membuatnya tampak seperti dewi. Dewi matari. Ya. Dia sama anggunnya
dengan dewi matari. Semburat cahaya matari membuat wajahnya berpendar emas dan
tampak semakin hangat. Membuat nyaman untuk selalu berada di dekatnya. Namun,
apakah aku bisa terus bersamanya? Namun apakah bisa ku rengkuh hangatnya?
Dia menoleh memandangku dan mengangkat alis, aku terkesiap
lalu memalingkan wajahku. Aku masih bisa merasakannya menatapku dan aku
merasakan panas di wajahku. Benar-benar seperti matari senja yang hangat.
“Jangan salah tingkah,” katanya sambil tertawa. Aku mendengus
sambil tersenyum kecut.
“Memandang orang kan tidak ada salahnya, pandanglah selagi
bisa,” katanya lagi sambil tersenyum. Sejenak aku tertarik kepada jam tangan
ku. Keheningan menyusul kita berdua. Dia tertarik kepada air mancur di taman,
sementara aku masih tertarik kepada jam tangan ku.
“Jadi, ada alasan khusus kenapa kamu kemari?” tanyanya masih
menatap merpati. Aku menengadah memandang gadis kecil bersama kakak lelakinya
yang jauh lebih tua sekitar 12 tahun. Aku masih memikirkan apa alasan aku ke
kota ini, bahkan ke negara ini. Gadis itu menangis di dalam pelukan sang kakak
yang sudah berumur sekitar 17tahun, sedangkan gadis kecil itu berumur sekitar 5
tahun. Kemudian sang kakak membelikan gadis kecil itu Ice cream dan cotton candy.
Hal yang terjadi di depan mataku membuatku tersenyum.
---
Waktu itu senja merambati Kota Roma, memancarkan pendar
keemasan. Hangat menyelubungi tubuhku. Aku berdiri di depan kedai Ice cream Gelato. Menatap kedai Ice
cream itu sejenak sebelum aku akhirnya memutuskan untuk masuk. Aku memilih
tempat duduk yang disinari matari senja. Pelayan menghampiriku, aku memesan banana split. Aku menatap padatnya jalan
raya kota ini. Kemudian pandanganku terhalang oleh sesosok tubuh berpakaian
kaos V-neck hitam di balut dengan cardigan putih, dan celana jins. Aku
mendengus dan mendongak menatap sosok tubuh itu. Saat berpapasan dengan matanya,
hatiku tercenung. Wanita itu tersenyum kepadaku, dia menarik kursi dan duduk di
depanku. Tepat dimana sinar matari senja menimpa wajahnya.
“Nggak panas?” tanyaku sambil menatap lurus ke jalan raya,
bukan ke wajahnya.
“Hangat,” jawabnya sambil tersenyum. Aku mendengus sambil
tersenyum. Kemudian pelayan menawarkan pesanan dan dia memesan Ice cream coklat.
“Nih, chocolate cakenya,” kataku sambil menyodorkan bungkusan.
Dia menatapnya sambil tersenyum.
“Kirain bentuknya hati,” katanya sambil menatapku dengan
senyumnya. Senyumnya? Jangan tanyakan seperti apa. Senyumnya tentu saja seperti
matari, hangat dan membuat hatiku leleh. Aku hanya tersenyum. Kemudian aku
memberanikan diri untuk menatapnya. Sejenak kemudian mata kami saling bertemu.
Lima detik kemudian aku memalingkan pandanganku karena pelayan membawakan
pesanan kami. Sejenak tidak ada percakapan karena kami saling menikmati Ice cream di senja ini.
“Kamu beneran naik taksi?”
katanya sambil menatapku.
“Iyalah, mau naik apa,” kataku.
“Maaf, kalau nunggu aku nanti kamu kelamaan,” katanya ada nada penyesalan di
kalimatnya.
Aku memandang wajahnya sambil mengangkat alis. Dia menatapku dengan
tatapan polosnya.
“Apa?” tanyanya.
“Kenapa minta maaf?” tanyaku. Dia
mengangkat bahu. Aku mendengus sambil berdecak.
“Aku nggak masalah kamu nggak bertemu aku, aku nggak ada masalah apapun, yang
penting,” kata-kataku terpotong. Leherku rasanya seperti tercekat.
“Yang penting apa?” tanyanya sambil menatapku.
“Nggak kenapa-kenapa,” jawabku akhirnya. Ganti dia yang mendengus.
Keheningan menyusul kita berdua
lagi. Aku sekarang tertarik kepada Ice
cream yang mulai meleleh di piringku. Begitupun dia. Semenit, dua menit
sampai lima menit masih tetap hening. Keheningan ini membuat canggung.
“Pulangnya kita bersama-sama ya,”
katanya akhirnya.
“Tapi kamu kan harus pulang tepat,” jawabku sambil mengerutkan alis.
“Tidak apa-apa kok, nanti kamu main saja ke apartemenku,” jawabnya. Selama dia
berbicara baru sekali ini dia tidak menatapku. Ganti aku yang menatapnya. Jadi
ini ya rasanya saat bicara tapi wajah kita tidak ditatap. Jadi, untuk kalian,
saat ada yang mengajakmu bicara, tataplah wajahnya, matanya terutama.
Kemudian mendongak, menatap lurus, entah kepadaku atau kepada
sesuatu dibelakangku. Wajahnya tertimpa sinar matari senja. Berpendar keemasan
dan hangat. Aku menatapnya, tepat di matanya, kemudian dia juga menatapku tepat
di mataku. Aku tersenyum, dan dia juga balas tersenyum. Aku menghela nafas dan
dia mengangkat alis. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, tapi cukup
untuk dirasakan. Mungkin bagiku saja, tidak baginya.
Kemudian aku memutuskan untuk ke kasir dan membayar Ice cream kami. Aku baru menyadari bahwa
hari ini hari Sabtu. Oh Saturday night.
Pantas banyak pasangan. Aku sejenak tersenyum menatap mereka. Aku terlalu asyik
menatap jalan raya dan aku tidak akan segera tersadar jika aku tidak tersentak
kaget saat dia menggandeng tanganku untuk mengajakku bangkit. Aku mendongak
menatapnya, dia menatapku sambil tersenyum. Dia benar-benar seperti matari. Aku
bisa merasakan panas menjalar ke seluruh tubuhku. Aku kemudian bangkit dan
tersenyum. Dia masih menggandeng tanganku sampai kami ke halte bus.
Aku tersentak saat sesosok tubuh berdiri di hadapanku,
menghalangi pandanganku dari gadis dan kakak laki-lakinya. Sesosok tubuh itu
menyodorkanku Ice cream cone
bertumpuk 3. Aku menatap sosok tubuh itu. Dia tersenyum menatapku sambil
menjilat Ice creamnya sendiri. Aku
tersenyum simpul sambil menerima Ice
cream pemberiannya. Aku begitu asyiknya melamun sehingga tidak sadar bahwa
dia menghilang dari sampingku. Dia kembali duduk disampingku.
“Thanks” kataku sambil menatap wajahnya yang sekali lagi
tertimpa sinar matari senja. Dia tersenyum, tapi tidak membalas tatapanku. Aku
memalingkan wajah dan tersenyum.
Aku selalu menyukai wajahnya saat pendar matari menimpa wajahnya.
Matari membuat wajahnya berpendar keemasan dan selalu membuatku merasa hangat.
Seolah-olah dia anak dewa matahari, Apollo.
“Jangan pergi lagi,” kataku tanpa menatapnya tapi aku
tersenyum.
---
Tepat sehari setelah peristiwa Ice cream Gelato itu semuanya berlalu dengan cepat. Hari-hariku
tersita untuk kuliahku. Segalanya berlalu dengan cepat. Aku kini sudah berubah
total dalam segala hal. Termasuk penampilan. Tahukah kenapa? Aku merubah semua
aspek penampilanku demi dia. Dia yang yah sejauh ini aku tidak pernah
menyebutkan namanya.
Semakin aku menunggunya semakin jauh aku rasakan. Dia semakin
menghilang, dan aku semakin tenggelam dalam mimpi-mimpiku. Aku terjatuh dan
terlunta. Aku tidak kehilanganmu, tapi kau semakin menjauh dariku. Tidak
bisakah kau kembali kesisiku?
Sehari setelah semuanya berlalu setelah dia menggandeng tanganku,
semuanya terasa terhisap oleh waktu. Entah siapa yang kehilangan siapa. Aku
tidak melupakannya, bahkan berpikir untuk melupakannya pun tidak. Aku bisa jadi
tidak waras atas semua yang aku lakukan.
Getar handphone-ku membuyarkan
lamunan, aku lihat sebuah pesan singkat dari nomor yang tak aku kenal. “Nanti
malam kamu ada acara? tolong antarkan aku ke pesta pernikahan kakak kelasku
yah.” Tak ada nama yang mengkuti pesan singkat itu, namun pikiranku langsung
tertuju kepadanya, yah dia yang membuatku selalu hangat di dekatnya. Lalu
dengan gesit tanganku memijit-mijit tombol handphone-ku, “Iya, aku bisa.
Kebetulan mobil pamanku ditinggalkan olehnya, nanti aku jemput kamu jam 18:00
tepat.”, setelah itu suasana kembali hening. Aku menatap layar hanphone-ku
sambil berharap ada balasan dari nomor yang tak di kenal itu namun tak ada
getaran sama sekali, sempat hatiku berkata “Apa bukan dia? atau sudah ada orang
lain untuk menjemputnya?”
“Cepat bangun, sudah hampir petang. Lekas mandi, air panas sudah siap.” suara itu membangunkanku, ternyata aku tertidur setelah lama berharap menunggu balasan pesan singkatnya. Aku lihat sebuah pesan singkat di hanphoneku “Kamu akan menjemputku kan? Aku tunggu yah, jangan sampai telat!” . Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17:30 , aku segera berlari untuk mempersiapkan diri.
“Tingtong,Tingtong” aku memijit bel didepan pintu apartemennya. Setelah itu muncul sesosok gadis yang begitu anggun, mengenakan dress putih dengan payet-payet yang menghiasi dress tersebut, layaknya langit yang ditaburi bintang-bintang. Rambutnya tergerai lurus dengan satu ikatan rambut di sisi kiri, seakan melambai-lambai kepadaku untuk membelainya. Aku seakan terbius, diam membisu, bagiku ini seakan di surga. “Ayo.” suara tersebut membuyarkan lamunanku. Aku masih saja diam membisu, tak sepatah kata apapun terlontar dari tipis bibirku. Aku terkaget ketika tangan lembut itu menggelayut manja di lenganku. Aku menoleh kepada gadis itu, dia tersenyum. Tidak, senyuman itu maut, aku seakan di hunus seribu pedang. “Kenapa? ada yang salah dengan penampilanku?” katanya. “Tidak, kau begitu cantik malam ini.” Jawabku sambil tak menatap senyumannya itu.
“Cepat bangun, sudah hampir petang. Lekas mandi, air panas sudah siap.” suara itu membangunkanku, ternyata aku tertidur setelah lama berharap menunggu balasan pesan singkatnya. Aku lihat sebuah pesan singkat di hanphoneku “Kamu akan menjemputku kan? Aku tunggu yah, jangan sampai telat!” . Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17:30 , aku segera berlari untuk mempersiapkan diri.
“Tingtong,Tingtong” aku memijit bel didepan pintu apartemennya. Setelah itu muncul sesosok gadis yang begitu anggun, mengenakan dress putih dengan payet-payet yang menghiasi dress tersebut, layaknya langit yang ditaburi bintang-bintang. Rambutnya tergerai lurus dengan satu ikatan rambut di sisi kiri, seakan melambai-lambai kepadaku untuk membelainya. Aku seakan terbius, diam membisu, bagiku ini seakan di surga. “Ayo.” suara tersebut membuyarkan lamunanku. Aku masih saja diam membisu, tak sepatah kata apapun terlontar dari tipis bibirku. Aku terkaget ketika tangan lembut itu menggelayut manja di lenganku. Aku menoleh kepada gadis itu, dia tersenyum. Tidak, senyuman itu maut, aku seakan di hunus seribu pedang. “Kenapa? ada yang salah dengan penampilanku?” katanya. “Tidak, kau begitu cantik malam ini.” Jawabku sambil tak menatap senyumannya itu.
Tiba di gedung yang begitu mewah, aku dan gadis itu turun dari
mobil pamanku, tak lupa juga dia menggelayutkan lengannya di lenganku. Semua
mata tertuju pada aku dan dia, suasana menjadi hening ketika kami berjalan
menelusuri pintu masuk. “Lihatlah, pasangan yang serasi itu. Layaknya Romeo dan
Julliet.” Aku mendengar bisikkan para tamu yang lain tentang kita. “Romeo dan
Julliet? Bagiku dia memang Julliet, namun aku? Aku bahkan hanya seperti bodyanguardnya
saja.” gerutuku. Para tamu yang lain masih saja memperhatikan gerak-gerik aku
dan dia, seakan tiap langkah kami menjadi pertunjukkan yang sangat indah bagi
mereka. Aku dan dia mencoba membaur ke para tamu yang lain.
“Wah kalian serasi sekali, pantas saja setiap gerak kalian menjadi pertunjukkan indah untuk para tamu yang lain.” Terdengar suara yang aku kenali saat itu, sesosok gadis di balut dengan long dress hitam pekat berdiri dihadapan kami. “Nirina, kau datang juga? Bersama siapa kau datang?” suara merdu dari gadis yang masih menggelayutkan lengannya di lenganku. Kemudian muncul sesosok pria yang menurutku lebih dari diriku, pakaiannya begitu rapi, gagah, dan tatapan matanya seperti elang. “Randy” sambil mengulurkan tangannya pada gadis yang menggelayutkan lengannya ke lenganku. Saat itu aku hanya terdiam, merasakan rasa yang aneh yang menghantam hatiku. “Tidak, mereka hanya berkenalan bukan? Lagian aku bukanlah siapa-siapa darinya.” Hatiku mencoba menenangkan ombak cemburunya.
“Wah kalian serasi sekali, pantas saja setiap gerak kalian menjadi pertunjukkan indah untuk para tamu yang lain.” Terdengar suara yang aku kenali saat itu, sesosok gadis di balut dengan long dress hitam pekat berdiri dihadapan kami. “Nirina, kau datang juga? Bersama siapa kau datang?” suara merdu dari gadis yang masih menggelayutkan lengannya di lenganku. Kemudian muncul sesosok pria yang menurutku lebih dari diriku, pakaiannya begitu rapi, gagah, dan tatapan matanya seperti elang. “Randy” sambil mengulurkan tangannya pada gadis yang menggelayutkan lengannya ke lenganku. Saat itu aku hanya terdiam, merasakan rasa yang aneh yang menghantam hatiku. “Tidak, mereka hanya berkenalan bukan? Lagian aku bukanlah siapa-siapa darinya.” Hatiku mencoba menenangkan ombak cemburunya.
Aku keluar dari kerumunan itu, untuk mencari udara yang segar
di malam ini. “Seharusnya aku bahagia, aku datang bersamanya. Bagai Romeo dan
Julliet masa kini, namun ketika sampai aku melihat Robin Hood yang siap mencuri
hati Julliet. Ah sial!” hatiku meneruskan gerutunya saat di kerumunan. Ku
tengguk minuman yang aku bawa dari dalam pesta tersebut. “Hei, kau sedang apa
disini? Tak menemani kekasihmu itu, jangan sampai hatinya tercuri oleh pria
yang lain.” Suara itu membuyarkan lamunanku, aku menatap lelaki itu. Ia
tertawa, seakan mencoba mengakrabkan suasana. Namun aku hanya tersenyum dan
mencoba menjauhinya dengan langkah kakiku yang tertuju ke dalam kerumunan pesta.
“Kamu kemana aja? Aku cari di tiap pelosok kau tak ada.” Suara
manja kesal berbisik di telingaku. Aku hanya tersenyum, hatiku tak karuan
ketika mengetahui ia mencariku. Lengannya pun kini menggelayut kembali di
lenganku. “Mari pulang” kata gadis itu sambil tersenyum padaku. Jam memang sudah
menunjukkan pukul 21:00 saat itu, suasana gedung tersebut masih ramai, namun
semilir angin malam mulai mendinginkan suasana. Tubuhnya gemetar, seperti
menggigil di rabai oleh dinginnya malam, aku pun melepaskan lengan yang
menggelayut di lenganku untuk sekedar melepas jas yang aku pakai. “Ini pakai,
udaranya sangat dingin malam ini” ia tersenyum, senyumannya seperti hangat
matari yang merabai tubuhku di malam dingin ini.
Sesampainya di pelataran apartemen, Ia mengatakan “Sudah sampai sini saja, terimakasih sudah menemaniku malam ini. Lain kali temani aku lagi dan kita berjalan berdua bersama lagi” . Sebuah kecupan mendarat di pipiku kananku, lembut tipis bibir dan guratan bibir itu seakan terasa ke seluruh tubuhku. Aku terdiam membisu, hati tak karuan, tak menyangka pipiku sebagai landasan kecupannya. Ia berlalu dengan senyumannya, sambil dengan tatapan manjanya yang membuatku terpana. Di perjalanan aku melamun, rasanya masih tak percaya dihadiahi sebuah kecupan.
Sesampainya di pelataran apartemen, Ia mengatakan “Sudah sampai sini saja, terimakasih sudah menemaniku malam ini. Lain kali temani aku lagi dan kita berjalan berdua bersama lagi” . Sebuah kecupan mendarat di pipiku kananku, lembut tipis bibir dan guratan bibir itu seakan terasa ke seluruh tubuhku. Aku terdiam membisu, hati tak karuan, tak menyangka pipiku sebagai landasan kecupannya. Ia berlalu dengan senyumannya, sambil dengan tatapan manjanya yang membuatku terpana. Di perjalanan aku melamun, rasanya masih tak percaya dihadiahi sebuah kecupan.
Jarum jam masih terus berdenting, aku lihat jam sudah
menujukkan pukul 00:00 tepat, namun masih saja mataku terjaga. Sebuah kecupan
hangat yang aku terima memaksaku untuk tetap terjaga di malam sunyi ini.
Tiba-tiba handphone-ku bergetar, “Hai, terimakasih atas malam ini. Maaf kalau
aku merepotkan. Dan aku hanya ingin mengucapkan, kau “TAMPAN” seperti dewa
langit, matamu elang yang siap memangsa para wanita lain. Selamat Malam!.” .
Aku tersenyum melihat pesan singkat itu. Aku tak percaya kalau kata-kata yang
terangkai ini dibuat olehnya, sesekali ku cubit pipiku untuk memastikan ini
bukan mimpi.
---
Seminggu setelah kejadian pesta itu, aku dan gadis yang selalu
aku puja semakin dekat. Bahkan tak sungkan-sungkan kami terjaga saat bulan
bersemangat menyinari bumi. Lewat alat canggih masa kini aku dapat bertatap muka
dengan mudahnya, membunuh rindu dengan senyuman, memudarkan sunyi dengan riuh canda
tawa. Kini timbul cinta kepermukaan, senyum dan canda tawa sederhana menjelma
menjadi cinta yang durjana. Rindu menjelma candu, hati kian gundah kala simpul
senyum telah melonggar.
Musim-musim berlalu begitu saja, aku terlalu sibuk dengan kegiatan kuliah yang ekstra padat tanpa memberikanku istirah. Bagai hidup dunia baru, aku memalingkan arah pandanganku kepada setumpuk tugas yang saban hari melambai-lambai dan memanggil namaku. Tak sempat aku menggunakan handphone-ku untuk menyampaikan sedikit rindu, bagai perahu yang karam di samudera pasifik tak ada riuh canda tawa yang kini membunuh sunyi.
Kini entah siapa yang kehilangan siapa. Aku
tidak melupakannya, bahkan berpikir untuk melupakannya pun tidak. Bagaimana
dengannya? Apa dia melupakanku? Apa dia akan meninggalkan cinta ini? Sejuta
tanya hadir saat malam mulai membentangkan jubahnya, sunyi mulai menjalar ke
sudut-sudut hati, dan gundah mulai menengadah padaku.
-----
Aku terhenti di depan sebuah kedai, dimana terdengar riuh canda tawa anak-anak dan obrolan mesra para remaja, serta para dewasa yang menikmati senja kota Roma. Ya, kedai Ice Cream Gelato. Sesaat waktu menghisap ingatanku, waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Ya, Dia yang sejauh ini aku tidak pernah menyebutkan namanya. Dia yang selalu melelehkan hatiku layaknya Ice cream coklat, menghangatkan tubuhku dengan senyumannya, menebas sunyiku dengan canda dan tawanya, dan lenganku masih merindukan gelayut manja lengannya. Apalagi pipiku masih terus memanggil-manggil kecupan bibirnya, guratan-guratan yang terukir di lembut tipis bibirnya masih terlukis jelas dalam pikiranku. Aku masih menyimpan kenangan manis tersebut, menyimpannya dalam hati dengan mengikatnya dengan simpul mati.
Aku terhenti di depan sebuah kedai, dimana terdengar riuh canda tawa anak-anak dan obrolan mesra para remaja, serta para dewasa yang menikmati senja kota Roma. Ya, kedai Ice Cream Gelato. Sesaat waktu menghisap ingatanku, waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Ya, Dia yang sejauh ini aku tidak pernah menyebutkan namanya. Dia yang selalu melelehkan hatiku layaknya Ice cream coklat, menghangatkan tubuhku dengan senyumannya, menebas sunyiku dengan canda dan tawanya, dan lenganku masih merindukan gelayut manja lengannya. Apalagi pipiku masih terus memanggil-manggil kecupan bibirnya, guratan-guratan yang terukir di lembut tipis bibirnya masih terlukis jelas dalam pikiranku. Aku masih menyimpan kenangan manis tersebut, menyimpannya dalam hati dengan mengikatnya dengan simpul mati.
Ku rasa Banana split ini
masih seperti dahulu, lembut dan manis saling memeluk dan membuncahkan rindu di
dalam mulutku. Namun bagiku ada yang hilang, ketika pendar jingga menimpa
bangku kosong di hadapanku. Sesaat aku termangu, kemana perginya dia? Dia yang
tak pernah kusebutkan namanya sampai saat ini, dia yang masih terlukis jelas di
hati, dan menjelma sebagai orang yang tak pantas dilupakan.
Lamunanku membuyar di bawa angin, senja ini begitu kelabu.
Sesaat awan abu-abu bergumpal di langit kota Roma bersiap untuk membasuh luka
lama yang berbalut renjana. Rintik hujan mulai berdenting, suasana kota Roma
yang padat berubah menjadi hening. Aku tertegun oleh lagu yang terputar di
gramofon milik kedai Ice cream Gelato.
“Pada akhirnya aku selalu melihat ke suatu tempat, mencari
senyumanmu di persimpangan jalan, saat aku duduk sendiri di kedai Ice cream, meskipun aku tahu kau tak mungkin ada di sana.
Andai hidup bisa diulang kembali, aku ingin berada di sisimu selalu. Aku tak
menginginkan apapun. Tak ada yang lebih penting darimu.”
Begitulah lirik lagu yang berbisik kepadaku. Aku menarik nafas
dalam-dalam mencoba menenangkan rindu yang memaki hati. Kejadian sebelas tahun
yang lalu itu takkan kembali, cinta yang belum sempat terlontar dari bibirku
kini menjadi usang dan terkubur menjelma renjana hati. Air mataku terjatuh pada
bangku yang kosong dihadapanku yang dahulu tertimpa pendar jingga kota Roma.
Aku berlari ke dalam riuh hujan, berlari menghampiri sebuah
nisan yang bertuliskan nama Clarissa Azkia. Dia yang tak pernah kusebutkan
namanya selama ini ialah gadis yang pernah menjadi dewi matari, bagiku kini ia menjelma
menjadi imaji. Selama ini aku selalu mencari, selalu mencari sosoknya. Di
persimpangan jalan, di dalam mimpi. Meskipun aku tahu dia tak akan ada di sana.
Biarlah kenangan ini larut dalam Ice cream Banana Split milik Gelato.
Inspirasi: One more time, One more chance
keren kak :)
BalasHapusWah terimakasih. Dan saya orang yang baru jatuh cinta pada "Sastra". Jadi, harap maklum.
Hapussilahkan baca review-nya di blog gue :D
BalasHapusAgak nyengir pas baca "Inspirasi: One more time, One more chance" :p
BalasHapus